MAKALAH


KONSEP PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI DIMENSI ADMINISTRASI
PUBLIK





DISUSUN OLEH:


Alif Dio Brilian Utama Putra
        (941417002)


Fikri Haikal                                       (941417022)



















UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS EKONOMI


JURUSAN MANAJEMEN


PROGRAM STUDI S1 ILMU ADMINISRTASI
PUBLIK


TAHUN AKADEMIK 2017/2018

















BAB 1


PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang


            Pemahaman
terhadap konsep administrasi publik, fungsi atau peran administrasi publik dan
tinjauan pergeseran paradigma dalam administrasi publik untuk sebuah pelayanan
publik yang lebih baik. Konsep-konsep penting tersebut adalah terkait dengan Konsep Publik, Pelayanan Publik, Kualitas
Pelayanan
, Etika Pejabat dan Aparatur Birokrasi Pemerintahan Dalam
Pelayanan Publik
.


            Pemahaman konsep-konsep ini dalam
kerangka memaknai secara komprehensif, jati diri sesungguhnya praktik
admininstrasi publik tersebut dalam konteks operassionaalisasi pelayanan
publik. Keempat konsep tersebut sebagai dasar penting dalam memahami sebuah
proses ataupun sistem pelayanan publik yang prima. Karena tanpa kita memahami
apa itu publik dan permasalahanya, tentunya penyelenggara pelayanan ataupun
birokrasi pemerintahan akan sulit untuk memberikan sebuah pelayanan publik yang diharapkan dan dibutuhkan masyarakat.
Sementara konsep pelayanan publik mengarah pada apa yang dilakukan oleh
penyelenggara pelayanan, kegiatan memberikan barang dan jasa kepada masyarakat
penggunanya. Sedangkan konsep kualitas
pelayanan publik
merupakan idealitas harapan masyarakat selama ini.
Sementara, Etika Pejabat dan Aparatur
Birokrasi Pemerintahan
merupakan konsep penting yang harus dipahami juga
dalam kerangka mewujudkan kualitas pelayanan publik tersebut. Karena aktor
utama dalam proses penyelenggaraan pelayanan
publik
yang berkualitas adalah sumber daya manusia aparatur, yaitu para
pejabat dan aparatur birokrasi pemerintahan. Berkenaan dengan konsep ini, nyata
bahwa pesoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang
menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak baik yang disebabkan oleh etika
pejabat dan aparatur birokrasi pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu,
keempat konsep dasar tersebut, dalam kesempatan ini, harus dibahas untuk para
pembaca, agar dapat memahami apa sesunggunya konsep-konsep tersebut dalam
memaknai dan memahami secara utuhsebuah pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh pemerintahan.


Kajian
dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus  berkembang.
Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan
yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas persoalan ini ditanggapi
oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik.
Setelah paradigma Old Public Administration dan New Public  Management,
kemudian muncul paradigm New Public Service. Perspektif New  Public
Service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan
 posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Warga
Negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan
mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Dalam
paradigma New Public Service seharusnya pemerintahan tidak dijalankan
sebagai sebuah perusahaan, tetapi melayani masyarakat secara demokratis dan
menjamin hak-hak setiap warga masyarakat. Kepentingan publik harus dipandang
sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan
kepentingan bersama yang mengutamakan kepentingan masyarakat.


Munculnya
pardigma New Public Service tersebut menyebabkan implikasi terhadap
penyelenggaraan peran administrasi publik khususnya terkait dengan
 pelayanan publik. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat
menentukan corak dan ragam dalam penyelengaraan pemerintahan dalam sebuah
negara, termasuk Indonesia. Corak dan ragam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia akan sangat ditentukan oleh kondisi lokal, dalam artian sejauh mana
Indonesia dapat menyesuaikan diri untuk menerapkan New Public Service yang
 berkembang.





1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Publik
Dalam Administrasi Publik


2. Bagaimana Konsep
Pelayanan Dan Pelayanan publik


3. Apa Itu Teori Konsep Kualitas Pelayanan Publik


4. Paradigma
Pelayanan Publik Customer Driven Government


5. Pemerintah Dan
Pelayanan Publik


6. Tugas
Pokok Pemerintahan Modern


7. Bagaimana
Gambaran Dari Proses Pelayanan Publik


8. Konsep
New Public Service di Indonesia


9. Kendala
Dalam Menerapkan New Service Publik


1.3. Tujuan penulis


1.
Untuk Mengetahui Konsep Publik Dalam Administrasi Publik


2.
Untuk Mengetahui Konsep Publik Dalam Pelayanan Publik


3. Untuk Mengetahui Teori Konsep Kualitas Pelayanan Publik


4.
Untuk Mengetahui Paradigma Pelayanan
Publik


5. Untuk Mengetahui Tugas Pemerintah Dan Pelayanan
Publik


6. Untuk Mengetahui
Tugas Pokok Pemerintahan Modern


7. Untuk
Mengetahaui Gambaran Dari Proses Pelayanan Publik


8. Untuk
Menegetahui
Konsep New Public Service di Indonesia


9. Untuk Mengatasi Kendala Dalam Menerapkan New Service Publik





BAB 2


PEMBAHASAN


2.1.
Pemahaman Konsep Publik Dalam Administrasi Publik


            Konsep publik dalam pelayanan
tataran ilmu administrasi publik memiliki dimensi makna yang cukup dinamis.
Kedinamisan tersebut dapat dilihat dari pemaknaan terhadap konsep publik itu
sendiri.


Berdasarkan
etimologinya, maka konsep publik berasal dari kata PUBES dalam bahasa yunani, yang menunjukan sebuah makna
“kedewasaan”. Kosep kedewasaan ini jika kita merujuk pada terminologi dalam
bahasa indonesia maka mengandung arti luas, yakni kedewasaan fisik, mental, dan
emosional. Oleh karena itu, seorang individu telah dikatakan dewasa apabila,
individu tersebut berkembang, dari kondis sebagaianak menjadi kondisi sebagai
dewasa. Pertumbuhanya dari anak menjadi dewasa. Kedewasaan dari seorang
individu tersebut tercermin dari kemampuan berpikir abstrak yang tidak hanya
untuk dirinya sendiri tetapi juga lingkunganya serta orang lain. Dengan
pernyataan yang lebih luas bahwa seorang individu tersebut memiliki kemampuan
berpikir dan bertindak secara dewasa, apabila secara fisikal, emosional,
intelektual, dan sosial mempunyai kemampuan secara bertindaksecara publik, dan
mampu mempertanggungjawabkan atas tindakanya tersebut. Oleh karena itu, konsep
publik dapat bermakna individu yang mampu bertindak secara fisikal, emosional,
intelektual, dan sosial untuk kepentingan banyak orang. Oleh karena itu, konsep
publik dalam administrasi publik dapat berkaitan dengan sebuah komunitas yang
memiliki perhatian dan punya kepentinganuntuk umum atau kebanyakan orang. Dalam
kamus bahasa inggris konsep “The Public”
bermakna the community in general”
atau part of the community having a
particular interest in common”,
sehingga administrasi publik dapat bermakna
keseluruhan proses administrasi untuk kepentingan dan urusan masyrakat umum.


            Sesungguhnya pemahaman terhadap
konsep publik sangat bervariasi, tergantung pada konsep apa ia melekat.
misalnya dalam konteks public
administration,
konsep publik ini dapat dimaknai sebagai negara dan/ atau
publik atau warga masyarakat, sehingga pada konteks indonesia public administration awalnya lebih
dikenal denga konsep administrasi negara, meskipun belakangan berubah menjadi
administrasi publik. Pada konteks public
policy,
konsep public di sini
tidak dimaknai sebagai negara, tetapi pada konteks indonesia, malah lazim
dikenal atau lebih digunakan dengan konsep “publik” itu sendiri, yang umumnya
dimaknai sebagai masyarakat, bukan negara atau umum, sehingga public service dimaknai sebagai
pelayanan kepada masyrakat.jadi pemahaman terhadap konsep publik, sangat
bervariasi.


            Pemahaman tentang konsep publik,
lebih komprehensif jika kita membaca buku yang ditulis oleh frederickson (1997)
mengenai “The Spirit Of public
administration”
. Dalam buku tersebut, terminologi publik sering diartikan
sebagai sekelompok masyarakat. Masyarakat itu sendiri dapat dipandang dari
berbagai pengertian. Frederickson mengungkapakan pengertian public dari bahasa yunani, yakni: “…the public as a political community-the
polis-in which all citizens (that is adult males and nonslaves) participated.”
Artinya,
publik merupakan suatu “masyarakat-polis” dan semua penduduk yang
berpartisipasi di dalamnya. Kemudian berkembang di inggris modern bahwa “…the public to mean all the people in a
society, without distinguish between them”.
Kedua pengertian ini saling memperkuat
pengertian publik atau masyarakat, yakni semua penduduk tanpa kecuali dalam
suatu komunitas yang ikut berpartisipasi di dalam pemerintahan. Sehingga konsep
publik di sini bermakna plural atau majemuk. Konsep publik dapat dilihat dari 5
perspektif,


yakni
publik dimaknai dari perspektif pluralis (the
pluralist perspective
), perspektif pilihan public (public choice perspective) perspektif legislatif (legslative perspective), perspektif
penyedia layanan (the service providing
perspective
), dan perspektif warga negara (the citizen perspective).


            Dalam perspektif pluralis, public dimaknai sebagai kelompok
kepentingan. Hal ini berakar dari pemikiran kaum pluralis bahwa masalah publik
itubadalah konfigurasi dari berbagai kelompok kepentingan yang ada dalam
masyrakat. Setiap orang yang memiliki kepentingan yang sama akan mengelompokan
dirnya dan membentuk kelompoknya, yang disebut sebagai kelompok-kelompok
kepentingan. Kelompok ini akan memperjuangkan kepentingan-kepentingan individu
yang mereka wakili, sehingga publik dalam konteks ini kemudian dimaknai sebagai
kelompok kepentingan. Karena kelompok kepentingan ini memperjuangkan
kepentingan-kepentingan warga masyarakat yang mereka wakili. Pada tataran ini
juga kemudian bahwa pemahaman terhadap masalah publik itu juga dapat dilihat
dari perspektif ini, yakni bahwa masalah politik adalah masalah dari
kelompok-kelompok kepentingan yang dominan dalam pemerintahan.


            Selain itu, dari perspektif pilihan
publik, konsep publik dimaknai sebagai individu yang merupakan mahluk
rasionalyang mengendalikan perilakunya untuk sebuah tujuan dan selalu memilih
cara yang paling efisien untuk mencapai tujuanya itu berdasarkan informasi
terbaik yang tersedia. Maka dari itu, konsep publik dapat dimaknai sebagai
warga masyrakat yang berperilaku rasional. Perspektif ini berakar dari tradisi
pemikiran utilitarian yang sangat menekankan soal kebahagiaan dan kepentingan
individu.dalam perspektif legislatif, konsep publik dimaknai sebagai warga
masyrakat yang diangkat menjadi pejabat untuk mewakili kepentingan publik.
Pemahaman konsep ini, umumnya terjadi pada negara yang menganut sistem
pemerintahan demokrasi, dimana pemerintahanya menggunakan sistem perwakilan
tidak langsung. Warga masyrakat yang diberi amanah tersebut, kemudian dianggap
sebagai publik, karena mereka mendapatkan legitimasi dari masyarakat pada
umumnya untuk menyampaikan masalah-masalah publik dalam praktik penyelenggaraan
Negara.


            Lain halnya dengan konsep tersebut,
pada perspektif penyedia layanan, konsep publik dimaknai sebagai pelanggan yang
yang harus dilayani atau warga masyrakat yang harus dilayani. Oleh karena itu,
sebagai penyelenggara, birokrasi pemerintah, khususnya street level bureaucrat, harus benar-benar memberikan pelayanan
yang prima kepada warga masyrakat yang dilayaninya.


            Terakhir adalah dalam perspektif
warga negara. Pada perspektif ini, konsep publik dimaknai sebagai individu
warga masyrakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan pelyanan apa
dan bagaimana yang harus mereka dapatkan.


Perspektif
ini muncul atau berakar dari pemikiran atau konsep citizenship (kewarganegaraan), yang memandang bahwa pada era
demokrasi atau masyrakat modern saat ini dibutuhkan:


1)  Pelayan
publik yang lebih terdidik dan terseleksi dengan dasar meritokrasi;


2)  Tuntutan
agar setiap warga masyrakat diberi informasi yang cukup agar secara umum mereka
dapat berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan publik dan memahami
konstitusi negara secara baik.


Dengan
perkataan lain bahwa hak dan kewajiban warga negara harus diperhatikan karena
merekalah yang empunya negara, dalam sebuah sistem pemerintahan yang
demokratis.





2.2. Pemahaman Konsep Pelayanan Dan Pelayanan publik


1. Makna  Konsep
Pelayanan Dan Pelayanan Publik


            Konsep
atau terminologi pelayanan berasal dari kata service. Devrye (1994) mengatakan ada dua pengertian yang
terkandung di dalamnya, yakni “…the
attendance of an inferior upon a superior”
atau “to be useful”. Pengertian pertama mengandung unsur ikut serta atau
tunduk dan pengertian kedua mengandung suatu kebermanfaatan atau kegunaan.
Pengertian kedua dari pendapat DeVyre tersebut sejalan dengan pendapat Davidaow
Uttal (1989) yang memberikan pengertian lebih luas yaitu “…whatever enhances customer satisfaction”. Dengan demikian,
dikatakan bahwa pelayanan merupakan suatu usaha untuk mempertinggi kepuasan
pelanggan.


            Konsep pelayanan menurut Lovelock
dan Wright (1999:5) dimaknai Sebagai: “service
is an act or perfomance offered by one party to another. Although the process
may be tied to a physical product, the performance is essentially intangible
and does not normally result on ownership of any of the factors of production.
Service are economic activities that create value and provide benfits for
customers at specific times and places, as a result of bringing abaut a desired
change in-or on behalf of –the recipient of the service.”
Jika
diinterpretasikan maka bahwa pelayanan merupakan aktivitas yang ditawarakan
kepada pihak lain. Pelayanan bersifat intangible, artinya pelayanan tidak dapat
dilihat, dicium, didengar, atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Dengan
demikian pelayanan tidak dapat dimiliki oleh pihak yang menerima. Pelayanan
merupakan aktivitas ekonomi yang menghasilkan nilai dan memberi keuntungan
kepada pelanggan.


            Pendapat lain tentang pelayanan diungkapkan
oleh Fritzsimmons (2011:4):”A Service is
a time-perishable, intangible experience performed  for a customer acting in the role of
co-producer.”
Gagasan tersebut jika diinterpretasikan berarti bahwa
pelayanan bersifat tidak nyata dan tidak tahan lama. Pelayanan adalah proses
yang diciptakan dan digunakan secara atau hampir simultan oleh penyelenggara
layanan. Karena pelanggan tidak dapat menyimpan jasa tersebut setelah
dihasilkan tapi efeknya dapat disimpan terus oleh pelanggan.


Pelayanan
dikatakan tidak berwujud berarti pelayanan itu hanya dapat dirasakan. Oleh
karena itu, Kotler dan Keller (2012: 358) memberikan empat karakteristik dari
konsep pelayanan itu:


1.  Intangibility


2.  Inseparability


3.  Variability


4.  Perishability


Karakteristik
pelayanan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama berkaitan dengan intangibility
atau tak berwujud, bahwa pelayanan tidak dapat dilihat, dirasakan, didengar,
ataupun dicium sebelum dibeli atau dikonsumsi oleh pengguna.


Kedua,
inseparability atau tak terpisahkan,
maksudnya bahwa kegiatan pelayanan tidak dapat dipisahkan dari pemberi layanan,
baik perorangan maupun organisasi serta perangkat mesin atau teknologi karena
jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi sekaligus. Ketiga, variability atau bervariasi, maksudnya bahwa pelayanan
sangat beraneka ragam, tergantung siapa yang memberikan, kapan dan dimana,
serta kepada siapa pelayanan diberikan. Keempat,
perishability
atau dapat dimusnahkan, bermakna bahwa pelayanan tidak bisa
disimpan, sehingga pada dasarnya pelayanan dikonsumsi pada saat itu juga. 


Berdasarkan
uraian tentang konsep pelayanan di atas dapat dimaknai bahwa pelayanan tidak
dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum pelayanan yang tak
terpisahkan, bervariasi, dan dapat musnah menunjukan perbedaan mendasar antara
pelayanan dan barnag. Oleh karena itu proses penyampaian pelayanan kepada
pengguna memerlukan desain yang berbeda dengan barang.


            Disisi lain, terminologi publik juga
bervariasi maknanya sebagaimana disampaikan pada sub-bab sebelumnya, namun
dalam konteks ini publik sering diartikan sebagai sekelompok masyrakat.
Masyrakat itu sendiri dapat dipandang dari berbagai pengertian. Frederickson
mengungkapkan pengertian public dari
bahasa Yunani, yakni: “…the public as a
political community-the polis-in which all citizens (that is adult males and
nonslaves) parcipated.”
Artinya, publik merupakan suatu masyarakat-polis
dan semua penduduk yang berpartisipasi di dalamnya. Kemudian berkembang di
Inggris modern bahwa “…the public to mean
all the people in a sociey, without distinguish between them”.
Kedua
pengertian ini saling memperkuat pengertian publik atau masyarakat, yakni semua
penduduk tanpa kecuali dalam suatu komunitas yang ikut berpartisipasi di dalam
pemerintahan.


            Selain itu, terdapat juga beberapa
pandangan tentang publik dalam pelayanan. Publik dalam pelayanan dibedakan
menjadi publik sebagai “citizens” dan
publik sebagai “customers”. Publik
sebagai citizens adalah masyarakat
yang dapat berperan aktif dalam pelayanan. Peran masyarakat disini adalah
sebagai pemilik kedaulatan (stakeholder).
Itulah sebabnya mereka dapat memainkan peran: (1) memenuhi kewajiban sebagai
warga negara seperti membayar pajak, (2) menikmati pelayanan yang diberikan
oleh pemerintah, dan (3) berperan aktif melaksanakan kontrol sosial terhadap
pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat dapat ikut serta memberikan penilaian
pelayanan yang dilakukan pemerintah. Sementara itu, Skelcher (1992) membedakan
publik dan pelanggan. Publik sebagai publik diidentifikasi sebagai kelompok
umum yang memiliki keterbatasan kekuasaan, sehingga sumsi pelayananya bersifat
paternalistik. Publik sebagai pelanggan diidentifikasikan sebagai individu yang
spesifik, mempunyai kekuasaan yang luas dalam menetapkan kualitas pelayanan
sehingga asumsi dalam pelayanan berorientasi pada kualitas. Dari berbagai
definisi publik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa publik sebagai setiap
warga negara dalam suatu komunitas yang ikut berpartisipasi di dalam
pemerintahan, dalam konteks ini adalah penyelenggaraan pelayanan publik.


            Elaborasi pelayanan publik di atas,
pada akhirnya memberikan dasar pengertian terhadap konsep pelayanan publik itu
sendiri. Pelayanan publik didefinisikan oleh Roth (1987) sebagai “any services available to the public
whether provided publicly (as is a museum) or privately (as is a restaurant
meal)”.
Any sercvices yang diungkapkan oleh Roth berkaitan dengan barang
dan jasa dalam pelayanan. Pelayanan publik yang dimaksud adalah segala bentuk
kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh suatu organisasi atau individu dalam
bentuk barang jasa kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok atau
organisasi.


Dalam
pelayanan publik pada umumnya pemerintah melakukan pengaturan terhadap barang
publik maupun terhadap barang setengah publik. Sejalandengan karakteristik
barang di aras, kegiatan pelayanan publik dikatakan oleh Londsdale & Enyedi
(1991: 3) sebagai “something made
available things which people cannot provide for themselves, i.e. people must
act collectively.”
Pengertian ini memeberikan ciri bahwa setiap orang tidak
dapat menyediakan kebutuhanya sendiri melainkan harus disediakan secara
berkelompok. Sementara itu pengertian oelayanan publik sesuai dengan Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 63 /KEP / M.PAN / 7 /
2003, adalah: “segala kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.


Sinambela
dkk. (2008: 5) mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: pelayanan  publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan
kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.”
Sedangkan menurut Kurniawan (2005:4), pelayanan publik dapat diartikan sebagai
pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
telah ditetapkan. Dari beberapa pendapat mengenai pelayanan publik tersebut
dapat bahwa pelayanan publik dapat dimaknai sebagai aktivitas pelayanan yang
dilakukan oleh lembaga pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.


            Konsep pelayanan publik di Indonesia
dirumuskan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Dalam UU tersebut, pelayanan publik didefinisikan berdasarkan pembiayaan dan
sifat pembiayaan. Konsep sistem pemerintah yang desntralistik di Indonesia
memeberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan pelayanan yang
responsif dan sesuai dengan aspirasi dan dinamika lokal. Dwiyanto (2010:18)
menyatakan bahwa pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik dan sifat
pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik lembaga penyelenggara atau
sumber pembiayaan semata. Misalnya, pelayanan kesehatan di rumah sakit milik
pemerintah sangat penting dan harus disediakan oleh negara. Selain itu,
pelayanan kesehatan merupakan salah satu tujuan dan misi negara yang diatur
dalam UUD 1945 pasal 28H.


            Oleh karena itu, pengembangan
pelayanan publik harus berorientasi kepada rakyat. Kepentingan masyrakat secara
keseluruhan harus ditempatkan sebagai pertimbangan utama dalam mengembangkan
sistem pelayanan publik. Untuk mengakomodir kepentingan masyarakat, maka dalam
pelayana publik harus memberdayakan masyarakat. Dwiyanto (2010:131) menyatakan
bahwa “… pemberdayaan warga juga dapat dilakukan apabila birokrasi pelayanan
diharuskan untuk mengembangkan saluran pengaduan dan penyampaian informasi.” Hal
ini berati bahwa masyrakat memiliki kesempatan untuk mengadu jika merasa tidak
puas dengan pelayanan yang diterima dan memiliki hak untuk memperoleh tanggapan
dari penyelenggara. Untuk lebih memberdayakan masyarakat, diperlukan sosialisai
mengenai saluran pengaduan yang ada.


            Pelayanan publik yang responsif
berarti pelayanan yang diberikan harus mampu mengenali kebutuhan masyarakat dan
mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara wajar. Untuk membuat
pelayanan yang responsif, Dwiyanto (2010;178) menyatakan: “Aparat birokrasi
yang berada digaris deoan harus diberi kewenangan untuk mengambil diskresi
karena mereka dituntut oleh keadaan untuk mampu menyelesaikan maslah yang
dihadapi warganya”. Hal ini berarti bahwa aparat yang berhubungan langsung dengan
masyarakat ketika melakukan pelayanan menjadi simbol birokrasi sehingga harus
mampu merespon setiap persoalan yang ada dilapangan. Mereka dituntut untuk
kreatif,  berwawasan luas, dan diberi
kewenangan untuk mengambil keputusan secara transparan.


            Di samping itu, bagi instansi
pemerintah, pelayanan publik yang diberikan tidak dapat berdiri sendiri tanpa
dukungan dari lembaga non-pemerintah. Kebutuhan msyrakat yang meningkat secara
kualitas dan kuantitas membuat pemerintah tidak mampu memenuhinya sendiri.
Untuk itu diperluka pola kemitraan dengan lembaga non-pemerintah. Menurut
Dwiyanto (2010:286) kemitraan dengan lembaga non-pemerintah dapat mencakup 3
area yang berbeda yaitu: pertama, kemitraan
dengan institusi bisnis. Pada konteks ini, maksudnya bahwa kerjasama dengan
institusi bisnis dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial dan lingkungan
hidup dapat mendorong berlangsungnya transfer teknologi, strategi, informasi,
dan keahlian di antara keduanya sehingga penanganan berbagai masalah dapat
dilakukan lebih efektif. Kedua, kemitraan
dengan institusi masyarakat sipil. Bentuk kemitraan dengan institusi masyarakat
sipil dapat menjadi wahana untuk mewujudkan kegiatan pemerintahan dan pelayanan
yang partisipatif dan mampu memeberdayakan masyarakat sebagai aktor dan
penyelenggara pelayanan, bukan hanya konsumen pasif. Ketiga, kemitraan tiga sektor. Kemitraan ini didorong oleh
kepedulian untuk terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang
terjadi dilingkunganya. Kesamaan visi dalam menyelesaikan masalah soal
mendorong terjadinya kerjasama di area ini. Keterswdiaan sumber daya dan
kemampuan memobilisasi dukungan warga untuk mengelola kegiatan untuk mengelola
kegiatan menjadi kegiatan menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan
kemitraan.


Pada
tingkat daerah, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memiliki kemampuan untuk
membangun kemitraan dengan pihak non-pemerintah. Dalam pemendegri nomor 61
tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD pasal 96
disebutkan:


a.  Untuk
meningkatkan kualitas dan kualitas pelayanan, BLUD dapat melakukan kerjasama
dengan pihak lain.


b.  Kerjasama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi,
efektivitas, ekonomis dan saling menguntungkan.


Hal
ini berarti bahwa kerjasama dengan pihak non-pemerintah dapat dilakukan oleh
berbagai organisasi publik milik pemerintah. Misalnya dalam pemberian pelayanan
kesehatan di daerah, rumah sakit daerah yang menerapkan BLUD dapat bermitra
dengan pihak non-pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
publik. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh rumah sakit BLUD untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayananya yang tidak mampu dilakuakan sendiri karena
keterbatasan sumber daya.


2. Klasifikasi Pelayanan Publik


          Fungsi pemerintah dalam pelayanan
sangat komprehensif. Leach & Davis (1996) memisahkanya dalam tiga fungsi,
yaitu: “public protection fungctions,
strategic infrastructure functions, personal, and local environmental
fungctions.” 
Setiap fungsi dilakukan
dengan tujuan. Pertama, public protection
fungctions,
merupakan pelayanan yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia
untuk merespon suatu kejadian yang sangat penting. Pelayanan ini dilakukan
dengan melindungi masyarakat, dalam bentuk pertolongan kepada masyarakat bila
terjadi kebakaran, perlindungan yang dilakuakan oleh polisi, menjaga kesehatan
masyarakat, dan membuat standar produksi untuk menjaga keamanan bagi
masyarakat. Di Indonesia pelayanan kepolisian dilakukan oleh pemerintah pusat
sedangkan pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan ketertiban kota yang
dilakuakan oleh Polisi Pamong Praja serta pelayanan pemadam kebakaran. Kedua, strategic infrastructure functions merupakan
pelayanan yang diberikan pemerintah yang berkaitan dengan kebutuhan
infrastruktur. Pelayanan yang diberikan dalam bentuk pelayanan transportasi,
pembuangan sampah, pelayanan air bersih, dan pelayanan yang menyangkut
peningkatan ekonomi, ketiga, personal and
local environmental functions
adalah pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
individu dalam suatu masyarakat, dalam bentuk pelayanan sosial, lingungan yang
bersifat lokal, pengumpulan sampah, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan
pertamanan.


            Dalam praktiknya pelayanan publik
yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dilihat dari jenis produk layanan yang
diberikan, maka pelayanan publik dapat diklasifikasikan ke dalam 4 jenis yaitu:


1.  Pelayanan
Administrasi yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi
yang dibutuhkan oleh publik;


2.  Pelayanan
Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang
digunakan oleh publik;


3.  Pelayanan
Jasa  yaitu pelayanan yang menghasilkan
berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik; dan


4.  Pelayanan
Regulatif yaitu pelayanan melalui penegakan hukum da peraturan
perundang-undangan, maupun kebijakan publik yang mengatur sendi-sendi kehidupan
masyarakat.





2.3. Teori Konsep
Kualitas Pelayanan Publik


            Teori
konsep tentang kualitas. Menurut Goetsh dan Davis (dalam tjiptono, 1996:51)
mengartikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan. Berbeda halnya dengan Ibrahim (1997:1) yang mendefinisikan kualitas
sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang
memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan eternal, secara eplixit dan
implisit. Sedangkan Gazpersz (1997:4) membedakan pengertian kualitas dalam dua
pengertian, yaitu: definisi Konvensional dan definisi Strategik. Definisi
konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari
suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (reliability),
mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics) dan sebagainya.
sedangkan definsi strategik menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu
yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of
costumers).


            Mengacu
kepada kedua definisi tersebut, sehingga menurut Gaspersz (1997:5) bahwa: pada
dasarnya kualitas mengacu kepada keistimewaan pokok, baik keistimewaan langsung
maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan
serta segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan kerusakan. Sedangkan
Triguno (1997:76) mendefinisikan kualitas sebagai: suatu standar yang harus
dicapai oleh seorang /kelompok /lembaga /organisasi mengenai kualitas sumber
daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang
berupa barang dan jasa. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa berkualitas
mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal,
dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan /persyaratan pelanggan /masyarakat.
Garvin (dalam lovelock, 1994; ross, 1993) memahami perbedaan pengertian
kualitas dari berbagai ahli, karena itu Garvin mengelompokkan pengertian
kualitas tersebut dalam lima perspektif, dimana kelima macam perspektif inilah
yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam
oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan.


Kelima
macam perspektif kualitas tersebut menurut garvin adalah sebagai berikut:


1.  Transcedental
approach, yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas
dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan
dioperasionalkan.


2.  Product
based approach, yang menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau
atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur.


3.  User
based approach, yang memandang bahwa kualitas tergantung kepada orang yang
memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang
merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.


4.  Manufacturing
based approach, yang memandang bahwa kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan
persyaratan (comformance to requirements). dalam sektor jasa, dapat dikatakan
bahwa kualitasnya bersifat operations driven.


5.  Value
based approach, yang memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan
mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan
sebagai "affordable exellence".


Berdasarkan
uraian di atas, garvin menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kualitas akan mengacu
pada kreteria sebagai berikut :


1)  Kondisi
produk/jasa


2)  Strategi
dasar yang menghasilkan jasa


3)  Karakerisitik
produk


4)  Keistimewaan
produk yang bebas dari kekurangan dan kerusakan


5)  Standard
yang harus dicapai. kelima kriteria tersebut pada akhirnya diarahkan untuk
memenuhi dan memuaskan pelanggan/consumer atau masyarakat.


Dalam
hal ini kualitas suatu produk atau jasa hanya dapat ditentukan oleh pelanggan
sendiri, karena merekalah yang merasakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh
suatu organisasi baik bisnis maupun publik. Oleh karena itu kualitas selalu
berfokus pada pelanggan (custumer focused quality). Kualitas pada dasarnya
terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan
dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. menurut Triguno
(1997:78) pelayanan yang terbaik, yaitu "melayani setiap saat, secara
cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan
mampu".


Sedangkan
menurut Tjiptono (1996:58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang
terkandung di dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu:


1.  Kecepatan.


2.  Ketepatan.


3.  Keramahan.


4.  Kenyamanan.


Keempat
komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan
menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. Kualitas jasa atau
layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada
akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi)
yang bersangkutan. Selanjutnya Wyckof (dalam Tjiptono, 1996:59) mengartikan
kualitas jasa atau layanan, yaitu: tingkat keunggulan yang diharapkan dan
pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan
pelanggan". Ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived
service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan
dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima
lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan
dipersepsikan buruk. Dengan demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas
pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus
menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul
berkualitas. Berdasarkan sendi-sendi kualitas pelayanan kepada masyarakat
tersebut, maka secara umum sendi-sendir tersebut telah mencerminkan
karakteristik pelayanan yang diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih
cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan lebih baik (better) (gazperzs,
1997:12) 





2.4. Paradigma
Pelayanan Publik Customer Driven Government



Menurut
Lembaga Administrasi Negara (2003:27) pada dasarnya terdapat dua paradigma
dalam pelayanan publik  pertama adalah paradigma pelayanan publik yang
berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis,
direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan /
organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari
masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat
pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki
kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus
tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan
paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada
kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi
pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.


Paradigma
kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma
pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan
(customer driven government). Customer driven government merupakan prinsip
ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David
Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191). Prinsip ini menguraikan bahwa
pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi
kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi. Kebanyakan organisasi
pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa demikian?
Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian besar badan
pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara
langsung).  Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive,
pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit
alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu
birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap
bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah
mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat,
pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau
kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh
menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan
kelompok kepentingan.


Budiono
(2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer
driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai
hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan
sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan.
Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif
dan inovatif. 


Lembaga
Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan
customer driven government, antara lain sebagai berikut :


(1)   Lebih fokus pada kegiatan fasilitasi
untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat;


(2)   Lebih fokus pada pemberdayaan
masyarakat; (3) fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil
(outcomes);


(3)   Fokus pada kebutuhan dan keinginan
masyarakat;


(4)   Pada hal tertentu, organisasi
pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang
dilaksanakan;


(5)   Fokus pada antisipasi terhadap
permasalahan pelayanan; dan


(6)   Lebih mengutamakan desentralisasi
dalam pelaksanaan pelayanan.





Berdasarkan
uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma
pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan
dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih
populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.








2.5. Pemerintah Dan Pelayanan Publik


Tujuan
utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban
didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Pemerintahan modern
pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah
diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.


Dalam
ilmu pemerintahan, Ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja
publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer,
mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang
diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil,
dalam hubungan pemerintahan.


Dengan
demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan
dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang
satu tidak berada dibawah yang lain. oleh karena itu posisi yang diperintah
sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. Melalui posisi
sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah,
sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada
saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai.


Lebih
lanjut ndraha (1999:58) mengemukakan bahwa: public dalam public policy yang
menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut kepentingan
masyarakat umum. Berbeda dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut
mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik
(produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan
bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya
disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol
pemerintah.


Untuk
mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan,
Rene T. Domingo dalam Triguno (1999:77) mengemukakan bahwa “dimensi kualitas
pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan,
kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan”.


Bahwa
terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan, sebagaimana dijelaskan
ndraha (1998:6) “pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome
sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja”. Berdasarkan
pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah
outputnya saja (layanan).


Pelayanan
kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara
penyedia layanan dan penerima layanan. Dengan kata lain dalam hubungan
pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan masyarakat
yang diperintah.


Birokrasi
merupakan organisasi atau unit kerja publik yang berfungsi sebagai provider
layanan. Konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori
yang dikembangkan oleh max weber yang mendefinisikan karakteristik suatu
organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota
organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.


Sebagaimana
dikemukan Gibson, Et, Al, (1989:391) bahwa: birokrasi (berdasarkan konsep Max
Weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan
stabilitas, disiplin dan kepercayaan. Sehingga birokrasi memungkinkan untuk
dapat mencapai efisiensi dan efektivitas. Selanjutnya thoha (1995:181)
menjelaskan bahwa “kualitas layanan sangat tergantung pada bagaimana pelayanan
itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi”. Artinya
aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang, Sedangkan orang atau manusia
adalah unsur utama dalam setiap organisasi. Sebagaimana dikemukakan Winardi
(1989:1) bahwa: organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk mencapai
tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh karena komponen pokok organisasi
adalah manusia maka sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku
manusia di dalam organisasi yang bersangkutan.


Berkenaan
dengan konsep perilaku tersebut Ndraha (1999:65) menjelaskan bahwa perilaku
adalah: operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok
dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam,
teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan
aktualisasi pendirian.


Hal
yang sama dikemukakan pula oleh Paramita (1985:10) dalam penelitiannya mengenai
struktur organisasi di indonesia, bahwa: posisi semua dimensi struktur
organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk
memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas
anggotanya. Untuk itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana Gibson, Et,
Al, (1989:340) mengemukakan bahwa: walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman
yang universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa
dimensi yang selalu mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi,
yaitu formalisasi, sentralisasi dan kompleksitas.











2.6. Tugas Pokok Pemerintahan Modern


Beberapa
pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus
terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain
pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid
(1997:11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain,
ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani
masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan
bersama.


Seiring
dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat,
pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber
kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai
oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara
pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang
berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar
tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini (ibid, 20). Dalam konteks
ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak
semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan
seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta.
Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan
yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi
daerah. 


Dampak
reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan
ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan
yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem
pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo,
2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam
wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar
pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman
daerah.


Otonomi
Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan
masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of
power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini,
kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah
daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka
negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap
perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat
globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika
yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan
masyarakat dan kemandirian lokal.














2.7. Bagaimana
Gambaran Dari Proses Pelayanan Publik


Dalam
kajian ilmu pengetahuan, konsep pelayanan publik sebenarnya bukan merupakan
konsep yang baru, secara filosofi kemunculan ilmu administrasi negara
sebetulnya terkait erat dengan konsep pelayanan publik. Nicholy Henry (1988:22)
mengemukakan bagaimana hubungan Administrasi Negara dengan kepentingan publik.
Dalam bahasan tersebut henry menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap peran
administration (birokrasi) dalam pelayanan publik telah menjadi kajian yang
sangat filosofis dan berumur panjang jauh sebelum ilmu administrasi negara itu
sendiri muncul dan berkembang. Dari analisisnya Henry mengemukakan konklusi
bahwa sesungguhnya pelayanan publik merupakan jiwa dasar dari penyelenggaraan
Administrasi Negara. Dalam hubungan ini dapat dipahami jika kehidupan manusia
diwarnai oleh tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pemenuhan
kebutuhan hidup terebut ada yang diperoleh melalui mekanisme pasar dan ada pula
yang diperoleh tidak melalui mekanisme pasar.


Kebutuhan
manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pasar antara lain adalah
layanan civil yang hanya disediakan oleh pemerintah. Layanan civil tersebut
diberikan oleh pemerintah atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap
warga negara.


Dalam
situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah untuk mewujudkan
pelayanan itu. Dalam hal ini pemerintah adalah lembaga yang memproduksi,
mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa
pelayanan publik. Dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa
pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh
pemerintah. Hal ini dapat dipahami mengingat pelayanan civil merupakan bagian
dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.


Sebagai
fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak hanya semata bersifat “profit
orientied” tetapi lebih beorientasi sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan
masyarakat. Karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa
dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang paling tepat adalah
pendekatan sosial (social approach), karena yang paling tahu akan baiknya pelayanan
yang diberikan adalah masyarakat itu sendiri.








2.8. Konsep New Public Service di Indonesia


Di Indonesia sendiri penerapan new
public service sudah sangat ramai dibicarakan dan berusaha untuk
direalisasikan, namun dalam kenyataanya masih 
terkendala banyak hal dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.


Menurut R Nugroho Dwijowiyoto
(2001), kondisi riil birokrasi Indonesia saat ini, digambarkan sebagai berikut
(Namniel):


1.     Secara generik, ukuran keberhasilan
birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru.
Di Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling rendah, yang
diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil. Karenanya, yang selalu
diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada
akhir tahun buku. (birokrasi lama)


2.     Birokrasi kita tidak pernah
menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua hal harus mengacu
kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau mau
berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi adalah
seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan
atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.


Birokrasi
di Indonesia sangatlah commanding dan sentralistik, sehingga
tidak sesuai dengan kebutuhan zaman masa kini dan masa depan, di mana
dibutuhkan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan. Selain itu dengan
posisinya yang strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar dari
berbagai kritik yang hadir yaitu:


1.      Buruknya Pelayanan public


2.      Besarnya Angka Kebocoran Anggaran
Negara


3.      Rendahnya Profesionalisme Dan
Kompetensi PNS


4.      Sulitnya Pelaksanaan Koordinasi
Antar Instansi


5.      Masih banyaknya tumpang tindih
kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan
perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.


6.      Birokrasi juga dikenal enggan
terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir
seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi. (birokrasi
lama)


7.      Tingginya biaya yang dibebankan
untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal
cost
, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati
dan tidak berperspektif harus dihormati oleh rakyat.


Jika
kita lihat dari pendapat R Nugroho Dwijowiyoto penerapan New Public Service  masihlah
belum terlaksana karena masih banyaknya masalah-masalah yang masih perlu
dibenahi sehingga menghambat proses penerapan konsep new public service ini.


Kemudian
jika mengacu kepada prinsip-prinsip dari new public service itu sendiri ada
beberapa prinsip yang masih belum terpenuhi. Berikut beberapa prinsip yang
belum terpenuhi dan juga kendala yang dihadapi:


1.     Mengutamakan Kepentingan
Publik (Seeks the Public Interest)


New Public Service berpandangan
aparatur Negara bukan aktor utama dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan
publik. Administrator publik adalah aktor penting dalam sistem kepemerintahan
yang lebih luas yang terdiri dari  warga
Negara (citizen), kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya.
Administrator negara mempunyai peran membantu warga negara mengartikulasikan
kepentingan publik. Warga negara diberi suatu  pilihan di setiap tahapan
proses kepemerintahan, bukan hanya dilibatkan pada saat pemilihan umum.
Administrator publik berkewajiban memfasilitasi forum  bagi terjadinya
dialog publik. Argumen ini berpengaruh terhadap peran dan tanggungjawab
administrasi publik yang tidak hanya berorientasi pada  pencapaian
tujuan-tujuan ekonomis tapi juga nilai-nilai yang menjadi manifestasi
kepentingan publik seperti kejujuran ,keadilan, kemanusiaan, dan sebagainya.


Namun
pada kenyataannya para pelayan public masih belum mengutamakan kepentingan
public. Sebagai contoh misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada
masyarakat, penyelenggara layanan secara berkali-kali menunda atau
mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan
sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu
sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan pelayanan umum tidak
ada kepastian sehingga menimbulkan masyarakat tak nyaman dan menghilangkan rasa
kepercayaan terhadap pelayan public.


2.     Kewarganegaraan lebih berharga
daripada Kewirausahaan (Value Citizenship over Entrepreneurship)


New Public Service memandang
keterlibatan citizen dalam proses administrasi dan pemerintahan lebih penting
ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh semangat wirausaha. New Public
Service berargumen kepentingan publik akan lebih baik bila dirumuskan dan
dikembangkan oleh aparatur Negara bersama-sama dengan warga negara yang punya
komitmen untuk memberi sumbangan berarti pada kehidupan bersama daripada oleh
manajer berjiwa wirausaha yang bertindak seolah uang dan kekayaan publik itu
milik mereka.


Tak jarang proses pelayanan
dijadikan lahan untuk meraup keuntungan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab. Misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat,
seorang penyelenggara layanan meminta imbalan uang dan sebagainya atas
pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan
tanggung jawabnya. Seorang pejabat atau penyelenggara layanan menggelapkan uang
negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau
orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada
masyarakat secara baik.


3.     Berpikir Strategis, Bertindak
Demokratis (Think Strategically, Act  Democratically)


Ide
utama prinsip ini adalah bahwa kebijakan dan program untuk menjawab kebutuhan
publik akan dapat efektif dan responsif apabila dikelola melalui usaha kolektif
dan proses kolaboratif. Prinsip ini berkaitan dengan bagaimana administrasi
publik menerjemahkan atau mengimplementasikan kebijakan publik sebagai
manifestasi dari kepentingan publik. Fokus utama implementasi dalam New Public
Service pada keterlibatan citizen dan pembangunan komunitas (community
building). Keterlibatan citizen dilihat sebagai bagian yang harus ada dalam
implementasi kebijakan dalam sistem demokrasi. Keterlibatan disini mencakup
keseluruhan tahapan  perumusan dan proses implementasi kebijakan. Melalui
proses ini, warga  Negara merasa terlibat dalam proses kepemerintahan bukan
hanya menuntut  pemerintah untuk memuaskan kepentingannya. Organisasi
menjadi ruang  publik dimana manusia (citizen dan administrator) dengan
perspektif yang  berbeda bertindak bersama demi kebaikan publik. Interaksi
dan keterlibatan dengan warga Negara ini yang memberi tujuan dan makna pada
pelayanan  publik.


Namun
partisispasi masyarakat dalam pemerintahan masih dibilang minim. Selama ini
menurut Paper 01/TK/2011LoGoWa/FISIP Universitas Indonesia/TK/4Prasojo (2008),
ruang bagi publik untuk berpartisipasi dilakukan oleh masyarakat secara
spontanmelalui beberapa sarana. Diantara sarana utama yang dipergunakan sebagai
media partisipasimenurut Prasojo adalah sarana public hearingdi DPRD, pengaduan
di kotak-kotak saran, dan melaluilembaga-lembaga resmi lainnya. Meskipun
demikian keterlibatan masyarakat tersebut belumsampai pada tahapan citizen
control, melainkan hanya sampai pada tingkat informasi dan konsultasisaja.Apa
yang disampaikan oleh Prasojo (2008) tersebut, juga sejalan dengan pandangan
dari tim revisiUU No. 32/2004. Menurut tim revisi UU No. 32/2004 terdapat
sejumlah permasalahan yang terkaitdengan peran masyarakat madani dalam
pemerintahan, yakni: (1) tidak ada pengaturan yangmenghubungkan antara
pemerintah daerah dan masyarakat; (2) tidak ada cukup tersedia informasitentang
kegiatan pemerintahan bagi masyarakat; serta (3) proses kebijakan di daerah
yang masihlebih banyak mewakili kepentingan elite politik daripada kepentingan
publik.


4.     Tahu kalau Akuntabilitas Bukan Hal
Sederhana (Recognize that accountability is not Simple).


Aparatur publik harus tidak hanya
mengutamakan kepentingan pasar, mereka harus juga mengutamakan ketaatan pada
konstitusi, hukum, nilai masyarakat, nilai politik, standard profesional, dan
kepentingan warga negara. Menurut New Public Service, efisiensi, efektivitas
dan kepuasan customer penting, tapi administrasi publik juga harus
mempertanggungjawabkan kinerjanya dari sisi etika, prinsip demokrasi , dan
kepentingan publik. Administrator publik bukan wirausaha atas bisnisnya sendiri
dimana konsekuensi ataupun kegagalan akibat keputusan yang diambilnya akan
ditanggungnya sendiri. Resiko atas kegagalan suatu implementasi kebijakan
publik akan ditanggung semua warga masyarakat. Karena itu akuntabilitas
administrasi publik bersifat komplek dan multifacet atau banyak dimensi
seperti pertanggungjawaban profesional, legal, politis dan demokratis.


Akuntabilitas pemerintah terhadap
masyarakat apalagi di daerah-daerah masihlah sangat kurang, banyak masyarakat
yang tidak mengetahui transparansi dari setiap kegiatan maupun laporan keuangan
yang ada di daerahnya. Hal ini mencerminkan bahwa akuntabilitas pemerintah
dalam hal demokrasi masih belum terpenuhi.








5.     Melayani Warga Negara, bukan
customer (Serve Citizens, Not Customers)


New
Public Service memandang publik sebagai “citizen” atau warga negara yang
mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. Tidak hanya sebagai customer yang
dilihat dari kemampuannya membeli atau membayar  produk atau jasa. Citizen
adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang disediakan pemerintah dan
sekaligus juga subyek dari berbagai kewajiban  publik seperti mematuhi
peraturan perundang-undangan, membayar pajak, membela Negara, dan sebagainya.
New Public Service melihat publik sebagai warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban dalam komunitas yang lebih luas. Adanya unsur paksaan dalam mematuhi
kewajiban publik menjadikan relasi Negara dan publik tidak bersifat sukarela.
Karena itu, abdi negara tidak hanya responsif terhadap “customer”, tapi juga
fokus pada pemenuhan hak -hak  publik serta upaya membangun hubungan
kepercayaan (trust) dan kolaborasi dengan warga negara.


            Hal diatas masihlah belum terlaksana
dengan baik karena kadang kala ditemui adanya pelayanan public yang
mendahulukan pelayanan terhadap pihak yang mempunyai kedudukan ataupun
masyarakat yang menggunakan uang untuk mempercepat proses dari pelayanan
tersebut. Misalnya pembuatan KTP, agar prosesnya cepat selesai maka seseorang
membayar si pelayan public tersebut sedangkan seseorang yang tidak membayar
dilayani dengan wajar dan kadang cenderung diundur-undur. Hal ini menunjukan
bahwa proses pelayanan masih mengikuti kemampuan seseorang untuk membeli atau
mebayar suatu produk jasa.

















2.9. Kendala Dalam
Menerapkan New Service Publik


Permasalahan Administrasi Publik di Indonesia Administrasi
publik dalam perkembangannya di Indonesia telah melalui beberapa tahap, mulai
dari masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde baru, dan masa reformasi
tahun 1998 sampai dengan sekarang. Sebagai salah satu negara yang ada di dunia
tentunya Indonesia juga merupakan bagian sistem pelaksanaan administrasi
global, yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kontradiksi dan
saling hubungan antar sesama bangsa di dunia. Dan  Indonesia pun saat ini
mulai mengadopsi sistem administrasi dengan paradigma yang palig baru yaitu New
Publik Service. Hanya saja banyak permasalahan administrasi yang terjadi di
Indonesia antara lain :


1.     Pengaruh budaya
lama (budaya feodal) Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka tidak bisa
dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau daerah, karena pasti
budaya setempat mempengaruhi dengan kuat ketika akan mempraktekkannya. New
Publik Service atau good governance sulit untuk di terapkan di Indonesia,
karena budaya masyarakat Indonesia yang biasa melayani kepentingan penguasa,
maka aparatur yang seharusnya melayani warga masyarakat, malah berbalik arah
untuk minta dilayani, dan masyarakatpun dengan senang hati melayani kepentingan
atau kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan administrasi
pemerintahan. Budaya asal bapak senang, budaya kroonisme/nepotisme, tidak bisa
di pisahkan dalam pelaksanaan administrasi, Rasa kekeluargaan di Indonesia
sangat kuat, apabila ada saudara, famili, atau tetangga yang mempunyai wewenang
untuk melakukan proses pengurusan administrasi pemerintahan, pastilah kita
minta bantuannya dan otomatis famili atau keluarga tersebut akan mendahulukan
kita tanpa proses antri, dan masih banyak contoh yang lainnya.
“Kenyamanan” yang dirasakan selama
ini oleh jajaran birokrat (status quo)membuat mereka sulit untuk merubah
pola pikir maupun sikap mental untuk mendukung kearah perubahan yang lebih
baik. Intinya terjadi penentangan oleh pihak internal (birokrat itu sendiri)
terhadap usaha perubahan yang menjadi inti dari reformasi pelayan public menuju
NSP ini. Ketidakinginan untuk merubah pola pikir termasuk budaya kerja dari
para birokrat yang ada tentunya menjadi kendala dalam perubahan itu sendiri.
Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal karena belum
menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini reformasi
birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan, tata laksana,
serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran pendidikan dan
pelatihan.


Sebuah
kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara
nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami
realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat
komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap
model mentalitas birokrat sejati. Faktor inilah yang merupakan hal krusial
dalam implementasi penerapan NSP di Indonesia secara menyeluruh.


2.     Politisasi
Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun 1998,
merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian kekayaan
daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang kaya,
seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam
pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan diri dari NKRI. Dalam
perkembangannya otonomi daerah dengan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada)
secara langsung, dimana kepala daerah merupakan jabatan politis yang dicalonkan
oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan pernah lepas dari corak dan gaya
kepemimpinannya. Administrator daerah dalam hal ini kepala daerah sebagai
jabatan politis maka akan banyak kepentingan politis yang lebih mempengaruhi
dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan. Ini bisa terlihat setiap ada
pergantian kepala daerah, maka pasti akan diikuti oleh pergantian pejabat
eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas hampir semua pejabat diganti, dengan
alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini menyebabkan pejabat eselon juga
menjadi mandul, tidak kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada
rakyat, karena takut jabatannya di copot. Kemudian bisa di pastikan ada
kesepakatan-kesepakatan politik antara kepala daerah terpilih dengan partai
yang mencalonkannya, minimal pada pembagian proyek-proyek daerah. Dan masih
banyak yang lainnya. Dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang ada di
Indonesia dalam pelaksanaan administrasi publik, secara garis besar adalah
pengaruh budaya lokal yang tidak bisa bertransformasi langsung dengan baik
terhadap konsep-konsep yang kita ambil dari luar, oleh karena itu, kita masih
membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan budaya ke arah yang lebih
baik. Kemudian yang kedua adalah politisasi dalam pelaksanaan administrasi
publik yang sangat kental dan pengaruh politik ini bisaa menjadi dominan, dalam
menentukan kebijakan publik. Selagi administrasi publik belum bisa melepaskan
diri dari ranah politik maka kebijakan publik pun tidak akan pernah lepas dari
kepentingan politik


3.     Kurangnya
sosialisasi dari Pemerintah


Semua urusan sebenarnya sudah ada
peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan.
Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk
ke dalam labirin. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur
baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang.
Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang
strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP,
Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang sampai ke
masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat
yang tidak tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu
layanan. Celakanya, hal inlantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak
bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi, untuk
menjalankan “aksi”-nya demi keuntungan pribadi.


4.     Kinerja Pegawai Rendah


Sudah jadi rahasia umum kan, kalau
etos kerja pegawai pelayanan publik kita buruk. Ini termasuk masalah
kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang
kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk.
Ya, disini kita sedang membicarakan tentang  tidak ramah saat memberikan
pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan ngobrol, sering bolos kantor
untuk belanja di pasar, dan lain sebagainya.


Jadi bagaimana pelayanan publik bisa
maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut
berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas. Sebagai contoh mudah,
soal sering ngaret-nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang
mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi korban.





Persoalan
pelayanan public di Indonesia secara singkat dapat dikelompokkan kedalam 3 hal,
yaitu :


1.     Paradigma pelayanan public dan
mentalitas aparat


                   Aturan
dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan tanggungjawab Negara dalam
memberi pelayanan, namun ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan
buruknya pelayanan public di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya sikap dan
paradigma dari aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan yang masih
rules-driven atau berdasar perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan
masyarakat. Setiap aparat harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya
kepada masyarakat.


2.     Kualitas pelayanan tidak memadai dan
masih diskriminatif


                   Jaminan
terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang tanpa diskriminasi belum
diberikan dengan kualitas yang memadai. Selain itu, pelayanan public yang
disediakan umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fasilitas dan
sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini disebabkan oleh keterbatasan
SDM serta alokasi anggaran yang kurang memadai dalam APBD. Disejumlah daerah,
APBD lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan kegiatan
pembangunan.


3.     Belum ada regulasi yang memadai


Regulasi
yang ada belum mampu meyakinkan bahwa kewajiban Negara semestinya diiringi
dengan kemampuan member pelayanan yang terbaik kepada warganya. Selain itu,
partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan belum optimal, meski
terdapat perangkat yang dapat mendukung upaya itu.





















































BAB 3 PENUTUP


3.1.
Saran


Semoga
dengan selesai dibuatnya makalah ini,dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan umumnya bagi pembaca. Dan apabila ada kekurangan dari makalah ini, saya
selaku penulis mengharapkan adanya koreksi terhadap kekurangan tersebut.


Mengingat
pelayanan public di Indonesia masih sangat jauh dari pada yang diharapkan
hendaknya perlu diadakan evauluasi terhadap kinerja aparatur birokrasi serta
infratruktur dalam pemenuhan kebutuhan masyrkatat.


v
Diharpakan
kepada pemimpin untuk melakukan pengrekrutan peagawai birokrasi untuk lebih
professional karena, pegawai birokrasilah penyebab kurang berkualitasnya
pelayanan yang diberikan.


v
 Untuk Meningkatkan pelayanan public di
Indonesia tidak hanya diharapkan peran internal dari aparatur pemerintah tetapi
harus adanya peran masyarakat. Di harapakan masyarakat lebih bekerja sama untuk
mengawasi kinerja pegawai birokrasi serta melaporkan setiap adanya kejanggalan
yang terjadi.


v
Mudahan
makalah ini bermanfaat dan menjadi pembelajaran untuk semua khususnya mahasiswa
ilmu pemerintahan sabagai generasi penerus dalam pemerintahan Indonesia
Kedepannya.








3.2  Kesimpulan


Jadi
pemahaman terhadap konsep publik sangat bervariasi, tergantung pada konsep apa
ia melekat. Misalnya dalam konteks public
administration,
public policy, dan public service.


Konsep
pelayanan dimaknai sebagai Jika diinterpretasikan maka bahwa pelayanan merupakan
aktivitas yang ditawarakan kepada pihak lain. Pelayanan bersifat intangible,
artinya pelayanan tidak dapat dilihat, dicium, didengar, atau diraba sebelum
dibeli dan dikonsumsi. Dengan demikian pelayanan tidak dapat dimiliki oleh
pihak yang menerima. Pelayanan merupakan aktivitas ekonomi yang menghasilkan
nilai dan memberi keuntungan kepada pelanggan.


Dalam
praktiknya klasifikasi pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah,
dilihat dari jenis produk layanan yang diberikan, maka pelayanan publik dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 jenis yaitu:


1.  Pelayanan
Administrasi


2.  Pelayanan
Barang


3.  Pelayanan
Jasa 


4.  Pelayanan
Regulatif


kualitas
sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang
memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan eternal, secara eplixit dan
implisit.


Menurut Lembaga Administrasi Negara
(2003:27) pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik 
pertama adalah paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola
pelayanan. Paradigma kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu paradigma pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada
kepuasan pengguna layanan (customer driven government).


Tujuan
utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban
didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Pemerintahan
modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah
diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.


Beberapa
pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus
terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain
pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid
(1997:11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain,
ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat
serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.


Hingga saat ini Indonesia sudah
mulai mengadopsi konsep New Public Service. Namun hanya saja dalam pelaksanaanya
masih dihadapkan dengan berbagai macam kendala, yaitu:


1.      Pengaruh budaya
lama (budaya feodal).


2.      Politisasi
Administrator Daerah Tuntutan Otonomi Daerah pada saat reformasi tahun 1998.


3.      Kurangnya
sosialisasi dari Pemerintah



4.      Kinerja Pegawai Rendah


















































DAFTAR PUSTAKA


Mulyadi
Deddy, Gedeona T Hendrikus, Afandi Nur Muhammad. 2016. Administrasi Publik Untuk Pelayanan Publik. Bandung: Alfabeta


Wiyono. 2008 Hukum Acara Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar Grafika.


Marbun. 1997. Peradilan Administratif Negara dan Upaya
Administratif di Indonesia
. Yogyakarta: Liberty.


Agus, Dwiyanto.
2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Liberty.


Yeremias, Keban. 2004. Enam
Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama)
.
Yogyakarta: Gava Media.


Puspitosari,
Hesti. 2012. Filsafat Pelayanan Publik.
Malang: Setara Press.


Fadila, Fadli. 2017. Penerapan
New Public Service (NPS) di Indonesia
.
http://opzloper.blogspot.co.id/2017/09/penerapan-new-public-service-nps-di.html.
Diakses Pada 22 November 2017.


Abi, Muhammad. 2015. Makalah Pelayanan Publik Pemerintah
Dan Pelayanan Publik.
http://infoadasemua.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pelayanan-publik.html. Diakses
22 November 2017



































Komentar

Postingan populer dari blog ini

SISTEM ADMINISTRASI PERPAJAKAN MODERN